Kamis, 30 April 2009

Menejemen Berbasiskan Sekolah

MENEJEMEN BERBASIS SEKOLAH (mbs)

Latar Belakang
Reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan mendasar yang sedang digulirkan sampai saat ini adalah manajemen negara, yaitu dari manajemen berbasiskan pusat menjadi manajemen berbasiskan daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Implikasi dari perundang-undangan tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi.
Manajemen yang berkenaan dengan pemberdayaan sekolah merupakan alternatif yang paling tepat untuk mewujudkan sekolah mandiri dan memiliki keunggulan tinggi. Pemberdayaan adalah memberikan otonomi yang lebih luas dalam memecahkan masalah di sekolah. Negara-negara maju telah cukup lama menerapkan otonomi dalam pengelolaan sekolah, seperti Jepang yang mana sekolah dapat membuat sistem manajemen sekolah sendiri untuk mencapai tujuan pendidikan secara efesien (Takakura and Murata. 1997). Oleh karena itu, diperlukan suatu perubahan kebijakan di bidang manajemen pendidikan dengan prinsip memberikan kewenangan mengelola dan mengambil keputusan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan sekolah. Secara empirik manajemen berbasis sekolah perlu diterapkan karena di lapangan menunjukkan kenyataan-kenyataan sebagai berikut:
a) Manajemen berbasiskan pusat memiliki banyak kelemahan, antara lain: keputusan pusat sering kurang sesuai dengan kebutuhan sekolah, kurang optimalnya kinerja sekolah, efektifitas dan efesiensi rendah.
b) Sekolah paling memahami permasalahan sekolah. Karena itu, sekolah merupakan unit utama yang harus memecahkan permasalahannya melalui sejumlah keputusan yang dibuat "sedekat" mungkin dengan kebutuhan sekolah.
c) Perubahan di sekolah akan terjadi jika semua warga sekolah ada "rasa memiliki" melalui kesempatan berpartisipasi dalam merumuskan perubahan dan keluwesan untuk mengadaptasikannya terhadap kebutuhan individu sekolah.
d) Pengaturan yang bersifat birokratik lebih dominan daripada tanggung jawab profesional, sehingga kreatifitas sekolah pada umumnya dan guru khususnya terpasung dan bahkan terbunuh.
Manajemen berbasiskan sekolah menempatkan unsur pokok sekolah (constituent) memengang kontrol yang lebih besar pada setiap kejadian di sekolah. Unsur pokok sekolah inilah yang kemudian menjadi lembaga non-struktural yang disebut dewan sekolah yang anggotanya terdiri dari guru, kepala sekolah, administrator, orang tua, anggota masyarakat dan siswa. Tujuan utama manajemen berbasiskan sekolah adalah meningkatkan kinerja sekolah, terutama meningkatkan kinerja belajar siswa menjadi lebih baik. Manfaat dari manajemen berbasis sekolah secara spesifik adalah:
· Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
· Memberi peluang bagi masyarakat luas untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
· Mendorong munculnya kreatifitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
· Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
· Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran dan biaya program-program sekolah.
· Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
Mutu pendidikan merupakan proyeksi masa depan pendidikan yang mutlak diperlukan agar mampu bersaing dengan bangsa lain. Dalam usaha mengejar mutu pendidikan, masyarakat, khususnya masyarakat DKI Jakarta dihadapkan kepada dua kondisi, yaitu keinginan masyarakat untuk mendapatkan mutu pendidikan dan biaya pendidikan yang cukup mahal (Abdullah Yazid. 2007). Keterbatasan daya pemerintah menyebabkan sekolah harus menggali dana sendiri. Kondisi stratifikasi sosial ekonomi masyarakat Jakarta yang cukup berbeda mempengaruhi tinggi rendahnya sekolah (SMA) dalam penerimaan sumbangan masyarakat dalam bentuk iuran peserta didik baru (IPDB) dan iuran bulanan komite.
Kajian dalam tulisan ini memfokuskan kepada Sekolah Menengah Atas di Jakarta dengan pertimbangan belum maksimalnya mutu lulusan apabila dikaitkan dengan kesiapan siswa menghadapi studi lanjutan ke perguruan tinggi. Kondisi SMA di Jakarta dapat digambarkan bahwa:
a. Masih lebih tingginya minat lulusan SMP untuk melanjutkan pendidikan ke SMA, khususnya yang memiliki nilai Ujian Nasional antara 18 – 23 (Mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), diperkirakan hanya 40% siswa yang memiliki nilai UN di atas 23. Hal ini menunjukkan mayoritas siswa SMA di Jakarta dihadapkan kepada input yang rendah.
b. Jumlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Jakarta masih lebih sedikit di bandingkan SMA, biaya operasional SMK jauh lebih besar dibandingkan SMK, sehingga masyarakat lebih praktis dari segi sosial ekonomi untuk memasukkan anaknya ke SMA.
c. Ada kecenderungan tingkat kemampuan sosial ekonomi masyarakat berkorelasi dengan prestasi akademik anaknya, maka banyak sekolah di Jakarta dihadapkan kepada input siswa yang rendah serta dukungan sosial ekonomi yang rendah pula. Sementara sebagian sekolah unggulan seperti SMAN 8, 78, 70, 81, 68, 13, 21 dan sejumlah sekolah swasta tidak mengalami kesulitan berarti dilihat dari segi input (siswa) dan dukungan orang tua (Komite).
d. Aspek manajemen sekolah yang lain, seperti kinerja kepala sekolah, wakil-wakil kepala sekolah, guru dan tenaga non-kependidikan lainnya relatif memiliki problem yang sama. Oleh sebab itu, tulisan ini mencoba mengangkat upaya mengoptimalkan eleman-elemen manajemen sekolah dalam rangka meningkat mutu dengan standar yang layak untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Berdasarkan latar belakang di atas, judul dari karya tulis ini adalah ”Upaya Peningkatan Kapasitas Manajemen Sekolah: Suatu Tinjauan Peningkatan Manajemen Berbasiskan Sekolah (MBS) terhadap SMA di DKI Jakarta”.

1.2 Tujuan Penulisan
Manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk "memberdayakan" sekolah terutama sumber daya manusianya (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan lingkungan masyarakat sekitar), melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas dan sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan. Kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka. Melalui keterlibatan guru, orang tua dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting.
Tulisan ini terfokus kepada SMA di Jakarta, karena SMA lebih tepat dijadikan tempat persemaian keilmuan. Lulusan SMA yang melanjutkan ke perguruan tinggi tidak lebih dari 30%, sedangkan 70% melompat ke pasar kerja dengan kualitas rendah, sementara lulusan SMK 15% yang melanjutkan ke perguruan tinggi dan 85% diterima di bursa tenaga kerja (Republika. 2008). Data ini menunjukkan betapa pentingnya peningkatan mutu lulusan SMA agar siap menempuh pendidikan di perguruan tinggi, sedangkan SMK lebih terfokus kepada peningkatan mutu keterampilan untuk memasuki dunia kerja. Oleh sebab itu, upaya peningkatan manajemen yang harus dilakukan terhadap SMA di Jakarta untuk mencapai mutu akademik agar siap melanjutkan ke perguruan tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan tulisan ini adalah bagaimana upaya peningkatan kapasitas unsur-unsur manajemen sekolah dalam mencapai pendidikan yang bermutu di SMA dalam wilayah DKI Jakarta, yang meliputi:
1. Bagaimana mengoptimalkan peranan kepala sekolah sebagai top-manajer di sekolah.
2. Bagaimana peranan yang dimainkan oleh wakil-wakil kepala sekolah sebagai pembantu kepala sekolah beserta stafnya,
3. Bagaimana mengotimalkan peranan guru dalam proses pendidikan ,
4. Bagaimana peranan orang tua siswa serta tokoh masyarakat dalam mendukung kemajuan pendidikan di sekolah.

1.3. Pembatasan Masalah
Manajemen berbasiskan sekolah adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara otonomis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam rangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan.
Kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah meliputi: kepala sekolah dan wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orang tua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintah, wakil organisasi pendidikan. Lebih ringkas manajemen berbasiskan sekolah menurut David .( 1989) adalah manajemen berbasis sekolah sama dengan otonomi manajemen sekolah plus pengambilan keputusan partisipatif.
Kemandirian sekolah adalah kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaftif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Pengambilan keputusan partisipatif (David, 1989) adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah ( guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat) di dorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Oleh sebab itu, penerapan manajemen berbasis sekolah memerlukan konsolidasi manajemen sekolah.
Ciri-ciri sekolah yang "berdaya" pada umumnya: tingkat kemandirian tinggi, tingkat ketergantungan rendah, bersifat adaptif dan antisipatif / proaktif, memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko dan sebagainya) bertanggung jawab terhadap hasil sekolah, memiliki kontrol terhadap kondisi kerja, komitmen yang tinggi pada dirinya dan dinilai oleh pencapaian prestasi.
Sumber daya manusia sekolah yang berdaya memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggung jawab, dia memiliki suara bagaimana sesatu dikerjakan, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimama, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya dan pekerjaanya merupakan bagian hidupnya.
Tulisan ini terbatas kepada ”Upaya peningkatan Kapasitas Manajemen Sekolah SMA di Jakarta yang meliputi:
· Upaya peningkatan peranan kepala sekolah sebagai top-manajer di sekolah.
· Upaya peningkatan peranan wakil-wakil kepala sekolah sebagai pembantu kepala sekolah beserta stafnya,
· Upaya peningkatan peranan guru dalam proses pendidikan ,
· Upaya peningkatan peranan orang tua siswa serta tokoh masyarakat dalam mendukung kemajuan pendidikan di sekolah.

PEMBAHASAAN

2.1. Model Manajemen Berbasis Sekolah
Pada dasarnya manajemen berbasis sekolah menurut pendekatan sistem (berfikir sistem), yaitu output – proses - input. Kegiatan sekolah akan dilakuan melalui analisis SWOT (stength, weakness, opportunity and threat), yang seharusnya dimulai dari "output" yang dicapai, kemudian ke "proses" dan baru ke "input" yang dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. (lihat : Slamet. 2000: 616-625)
Output sekolah diukur dari kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah pencapaian atau prestasi yang dihasilkan oleh proses atau perilaku sekolah yang dapat diukur dari efektifitas, kualitas, produktifitas, efisiensi, inovasi, kualitas kehidupan kerja dan moral kerja.
Proses merupakan berubahnya "sesuatu" menjadi "sesuatu yang lain". Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut "input", sedang sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam skala mikro (Sekolah), proses meliputi proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program dan proses belajar dan mengajar.
Sebagaimana masyarakat pada umumnya, sekolah sebagai ”mini society” direpresentasikan oleh watak para penghuninya, yaitu pengelola sekolah (kepala sekolah, guru, tenaga non-kependidikan lainnya). Sebagai ”mini society” terdapat tiga level sekolah (Mulyana. 2002: 157-158), yaitu level regulator (taat kepada peraturan), level profesi (representasi karakter profesional pengelola sekolah) dan level manajemen (representasi karakter kolektif warga sekolah). Karakter profesi merupakan penentu masyarakat sekolah, jika kepala sekolah, guru dan stafnya kolaboratif mereka akan menentukan iklim sekolah yang demokratif, dan jika guru-guru berpikir maju, maka akan menimbulkan motivasi untuk mewujudkan budaya maju (culture of progress) di sekolah.
Tujuan utama yang ingin dicapai oleh manajemen sekolah adalah kualitas sekolah melalui faktor yang harus diperhitungkan antaralain: mutu perencanaan, mutu pengorganisasian, mutu kepemimpinan, mutu pengawasan dan efektifitas serta efisiensi penggunaan sumber daya pendidikan. Oleh sebab itu, manajemen sekolah adalah aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam mencapai tujuan sekolah yang telah ditetapkan sebelumnya (A.Suryadi. 2004: 74-78). Manajemen sekolah merupakan suatu kiat, karena dalam menjalankan roda atau aktifitas sekolah diperlukan suatu seni tersendiri yang tercermin pada kemampuan membaca situasi, kondisi, waktu dan ruang serta pengalaman, intusi dan feeling. Oleh sebab itu, manajemen sekolah (Handoko. 2000) merupakan kerja sama dengan orang-orang untuk menentukan, menginterpretasikan dan mencapai tujuan-tujuan organisasi, dengan pelaksanaan fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personalia, pengarahan, kepemimpinan dan pengawasan.

2.2. Standar Manajemen Sekolah
Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa manajemen pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Pernyataan ini memberikan tuntunan bahwa kepala daerah sebagai penanggung jawab pendidikan harus mampu membuat rencana pembangunan pendidikan yang lebih transparan berbasis keunggulan lokal. Transparan berarti mengikutsertakan kelompok kepentingan pendidikan dan keunggulan lokal berarti mampu mengangkat isu potensi lokal menjadi keunggulan. Oleh sebab itu, kepala sekolah sebagai pimpinan pembelajaran, sebelum membuat kebijakan, lebih dahulu membicarakan secara tim di sekolah, sehingga semua keputusan merupakan keputusan sekolah, bukan keputusan pribadi kepala sekolah.
Suatu keunggulan masyarakat DKI Jakarta sebagai ibukota negara adalah Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional, tempat tinggalnya para elit politik dan ekonomi nasional, pusat perdagangan dan industri, tempat terjadinya transaksi bisniss dan keuangan, sehingga diperkirakan 70% peredaran uang berapa di Jakarta. Kondisi ini perupakan potensi yang harus dimanfaatkan secara optimal dalam meningkatkan kapasitas manajemen sekolah (SMA). Namun, masih banyak sekolah kurang memanfaatkan kondisi ini. Fenomena yang telah berkembang dalam dunia usaha untuk mengimplementasikan konsep ”Corporate Social Responsibility” (tanggung jawab sosial perusahaan) yang merupakan kebijakan operasional dari ketatalaksanaan perusahaan (Endri. 2007:703). Oleh sebab itu, perlu sekolah menjalin komunikasi dengan dunia usaha, terutama sekolah yang berada dalam lingkungan yang sangat dekat dengan pusat usaha tersebut.
Berdasarkan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menegaskan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah Republik Indonesia, sehingga dapat menghasilkan produk yang berkualitas dengan prinsip manajemen berbasiskan sekolah. Standar Pelayanan Minimal (SPM) berdasarkan Keputusan Mendiknas No.129a/U/2004, dinyatakan Standar Pengelolaan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah meliputi: (1) menerapkan model manajemen berbasiskan sekolah (MBS) yang ditunjukan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan dan akuntabilitas, (2) sekolah dipimpin oleh kepala sekolah dan wakil kepala sekolah, (3) rencana sekolah terdiri dari rencana jangka menengah (4 tahun) yang disebut dengan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) dan Rencana Kerja Tahunan (Rencana Anggaran Pembelanjaan Biaya Sekolah (RAPBS), (4) RPS dan RAPBS persetujuan dengan pendidik (guru) dan pertimbangan Komite Sekolah, dan (5) pengawasan satuan pendidikan meliputi: pemantauan, supervisi, evaluasi pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan. SPM ini merupakan indikator kinerja yang ditetapkan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan dasar bagi layanan belajar di kelas bagi peserta didik.
Sebagai konsekwensi dari SPM ini menuntut kualifikasi pengawas sekolah (supervisor), kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan memenuhi persyaratan profesional sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing untuk memenuhi kualitas penyelenggaraan pendidikan dan layanan belajar di sekolah dan kewajiban pihak penerintah daerah dan sekolah untuk memenuhi kebutuhan anggaran sesuai RPS dan RAPBAS yang disusun oleh tim sekolah. Apabila SPM ini dapat dipenuhi dapat diasumsikan mamajemen sekolah dan layanan belajar akan semakin baik dan antar sekolah lebih kompetitif.

2.3. Strategi Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
Strategi utama yang perlu ditempuh dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah (Slamet. 2000) meliputi sosialisasi konsep, analisis situasi, merumuskan tujuan, identifikasi fungsional, analisis SWOT, langkah pemecahan masalah, melaksanakan program dan pemantauan terhadap proses.
Konsep manajemen berbasis sekolah harus disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah (guru, siswa, wakil-wakil kepala sekolah , konselor, karyawan dan unsur terkait) melalui seminar, diskusi, forum ilmiah dan media massa. Analisa situasi sekolah dan luar sekolah yang hasilnya berupa tantangan nyata yang harus dihadapi oleh sekolah dalam rangka mengubah manajemennya. Merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai dari pelaksanaan manajemen berbasis sekolah berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi.
Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi fungsi –fungsi mana yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional. Fungsi-fungsi yang dimaksud adalah pengembangan kurikulum, pengembangan tenaga kependidikan dan nonkependidikan, pengembangan siswa, pengembangan iklim akademik sekolah, pengembangan hubungan sekolah dengan masyarakat, pengembangan fasilitas dan fungsi lainnya.
Dalam rangka menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dilakukan melalui analisis SWOT agar mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan. Tingkat kesiapan harus memadai, artinya minimal memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional, yang dinyatakan sebagai kekuatan, peluang, kemelahan dan ancaman.
Pemilihan langkah-langkah dalam memecahkan masalah, pada hakaketnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan atau ancaman agar menjadi kekuatan dan peluang, yaitu dengan memanfaatkan faktor yang bermakna kekuatan atau peluang. Berdasarkan langkah-langkah pemecahan masalah sekolah bersama dengan semua unsur-unsur membuat rencana untuk jangka pendek, menengah dan panjang berserta program-program untuk merealisasikan rencana tersebut.
Dalam melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek semua input yang diperlukan untuk berlangsungnya proses yang meliputi pengelolaaan kelembagaan, pengelolaan program dan pengelolaan proses belajar dan mengajar. Pemantauan terhadap proses dan evaluasi terhadap hasil manajemen perlu dilakukan, hasilnya dapat digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan dan pengukuran tingkat ketercapaian tujuan situasional. Kegiatan ini dilakukan secara terus menerus sehingga proses dan hasilnya manajemen dapat dioptimalkan. Strategi-strategi yang harus dilalui untuk mengiplementasikan manajemen berbasiskan sekolah antara lain:
· Sekolah harus memiliki otonom terhadap empat hal yaitu memiliki kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan yang berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian dan pemberian penghargaan kepada setiap orang yang berhasil.
· Adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam pembiayaan, proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan instruksional serta non-instruksional.
· Adanya kepemimpinan kepala sekolah yang mampu menggerakkan dan mendayagunakan setiap sumberdaya sekolah secara efektif.
· Adanya proses pengambilan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang aktif.
· Semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh.
· Adanya guidelines dari departemen terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Guidelines itu jangan sampai menjadi peraturan-peraturan yang mengekang dan membelenggu sekolah.
· Sekolah harus tranparansi dan akuntabilitas yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggungjawaban setiap tahunnya.
· Penerapam manajemen berbasiskan sekolah harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah, khususnya meningkatkan pencapaian belajar siswa.
Konstribusi manajemen berbasis sekolah mempengaruhi output pendidikan, yaitu meningkatnya efisiensi penggunaan sumber daya termasuk personal, mengingkatkan profesionalisme guru, implementasi reformasi kurikulum dan meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam pendidikan.

2.4 Problematika Manajemen Sekolah
Dalam berbagai literatur ditemukan berbagai problematika manajemen sekolah. Dalam tulisan ini penulis akan menyoroti aspek yang menyangkut team working sekolah, kinerja guru dan manajemen sekolah. Kondisi ini menjadi kendala yang dihadapi oleh sekolah dalam rangka implementasi kapasitas manajemen berbasis sekolah.

2.4.1 Team Working Sekolah
Menurut Syaiful Sagala (2007:35) kelemahan utama manajemen pendidikan adalah team working yang tidak solid. Pada berbagai institusi satuan pendidikan pimpinannya selalu memiliki orang-orang tertentu sebagai orang kepercayaan, meskipun orang itu menurut personal lainnya atas dasar pengalaman bekerja sama sesungguhnya tidak terlalu istimewa. Tetapi orang kepercayaan itu dapat dimanfaatkan oleh kepala sekolah sesuai dengan kehendaknya, meskipun pemahaman orang kepercayaannya itu terhadap sekolah tidak memadai, sehingga berbagai kebijakan dan keputusan adalah hasil rekayasa pimpinan dengan orang kepercayaanya. Sedangkan personal lainnya menjadi suatu kelompok yang berbeda dengan pimpinan dan orang kepercayaanya. Rekomendasi dan pendapat dari kelompok ini betapapun baiknya tidak mendapat perhatian dari pimpinan sehingga mereka mengambil sikap apatis dan kurang berpartisipasi penuh terhadap program sekolah.
Kadangkala pergantian pimpinan budaya "orang kerpcayaan" selalu mempunyai pola yang sama dengan personal yang berbeda. Kondisi demikian merupakan budaya buruk bagi sebuah team working di sekolah, sehingga sukar membentuk team working yang solid, meskipun budaya tersebut tidak untuk semua sekolah. Beberapa sikap personal yang lahir dari budaya kerja demikian adalah bekerja demi kepuasan pimpinan, muncul ambisi pribadi, potensi personal tidak optimal, perlakukan diskriminatif, menurunnya semangat kerja dan pada akhirnya lemahnya manajeman institusi (sekolah). Visi, misi, tujuan dan target sekolah hanyalah sebagai statemen di atas kertas sehingga mutu pendidikan rendah.

2.4.2 Kinerja Guru
Berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan oleh Syaful Sagala (2007:38) disimpulkan kinerja guru kurang optimal. Guru melaksanakan tugasnya hanya sebagai kegiatan rutin dan kurang kreatifitas dan inovasi. Hasil penataran berbagai bidang studi belum menunjukkan daya kerja berbeda dibandingkan kinerja guru yang tidak mengikuti penataran. Kurang atau tidak adanya kontrol terhadap hasil penataran, meskipun penataran itu telah menghabiskan biaya cukup besar. Institusi yang membina kinerja guru dan tenaga kependidikan tidak jelas, apakah menjadi kewenangan pemerintah, organisasi profesi guru atau tenaga kependidikan. Hasil pengamatan ini masih dapat dirasakan dalam kondisi kinerja guru-guru, khususnya guru-guru SMA di Jakarta. Walaupun demikian cukup banyak ditemukan guru melaksanakan tugas dengan penuh keikhlasan dan semangat serta dengan tanggung jawab yang tinggi.

2.4.3 Manajemen Sekolah
Permasalahan yang selalu dihadapi oleh sekolah antara lain (1) team working sekolah yang lemah, yaitu sebagian personal pimpinan sekolah sulit berkoordinasi dengan para guru dan personal lainnya dalam melaksanakan strategi sekolah, (2) kurangnya partisipasi dalam mendukung program dan tujuan sekolah, (3) kurangnya fasilitas dan kelengkapan belajar di kelas sebagai akibat kemajuan teknologi media pembelajaran, dan (4) masih dijumpai rendahnya kesadaran orang tua siswa terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan.
Berdasarkan kajian Bank Dunia tahun 1997 (Sagala. 2007: 39) menemukan tiga faktor yang menyebabkan manajemen tidak efektif, yaitu (1) umumnya kepala sekolah memiliki otonomi sangat terbatas dalam mengelola sekolah dan memutuskan pengelolaan sumber daya, (2) kepala sekolah diidentifikasi kurang memiliki keterampilan mengelola sekolah dengan baik, dan (3) kecilnya peran serta masyarakat, khususnya para pengusaha dalam membantu pengelolaan sekolah, serta dukungan masyarakat merupakan bagian dari peran kepemimpinan sekolah. Keterampinan ini penting manakala fungsi-fungsi pendidikan atau sekolah didesentralisasikan. Faktor yang pertama setelah berbagai regulerisasi semenjak reformasi kurang relevan, namun faktor kedua dan ketiga masih relevan dalam saat ini di berbagai sekolah menegah di lingkungan DKI Jakarta.
Seiring dengan tuntutan akan perubahan yang terus menerus dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan akan efektifitas dan mutu sekolah akan selalu mengiringinya. Namun demikian ada beberapa prinsip umum mengenai karakteristik sekolah yang efektif menurut hasil penelitian Purkey dan Smith (Sagala: 2007: 81), yaitu (1) fokus manajemen didasarkan pada sekolah (school based management), (2) kepemimpinan instruksional yang kuat (strong leadership), (3) stabilitas staf, (4) konsensus tujuan , (5) pengembangan dan pembinaan staf sekolah, (6) dukungan orang tua, (7) hasil akademik yang berkualitas, (8) penggunaan waktu yang efektif, (9) dukungan distrik (pemerintah daerah), (10) hubungan perencanaan dan kolegial, (11) komitmen organisasi, (12) tujuan yang jelas dan harapan yang tinggi di sekolah, dan (13) aturan yang baik dan kuat.
Sekolah yang efektif adalah spesifikasi prosedur pengembangan organisasi yang konsisten secara aktual terhadap kebutuhan sekolah dan pembelajaran berpusat pada proses manajerial kepala sekolah, berfungsinya struktur organisasi sekolah, perfomansi guru, kesiapan belajar siswa dan perfomansi kerja personal non-guru sehingga tercapai tujuan dan target secara optimal. Sekolah bekerja secara profesional dan otonom menyenggarakan program layanan belajar bagi peserta didik dan masyarakat yang membutuhkan. Sekolah merupakan sarana mengembangkan potensi dan sumberdaya yang dimiliki. Melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan penuh tanggung jawab agar mampu mencapai tujuan . Tercapainya tujuan sekolah pada hakekatnya tergantung pada tingkat berfungsinya secara optimal komponen organisasi sekolah.

2.5 Komponen Organisasi Sekolah
Keberadaan sekolah menunjukkan aspek-aspek perilaku organisasi terdiri atas kepala sekolah, guru, peserta didik dan personal sekolah lainnya, unjuk kerjanya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keefektifan organisasi sekolah. Perilaku organisasi memandang orang sebagai sumber riil dari keuntungan kompotitif bagi sekolah, perilaku organisasi dapat membantu memahami mengapa orang menunjukkan perilaku tertentu dalam organisasi dan bagaimana hal itu pada akhirnya berkaitan dengan kesuksesan atau kegagalan sekolah. Perilaku organisasi menawarkan pedoman-pedoman mengenai keahlian, perangkat dan proses yang dibutuhkan untuk mengembangkan personal sekolah berkualitas tinggi dan bagaimana mengelola mereka secara efektif yang berimplikasi pada mutu sekolah.
Setiap unit merupakan bagian kerja yang berdiri sendiri dan berkedudukan sebagai sub sistem sekolah menjadi bagian dari sekolah sebagai total sistem. Desain organisasi sekolah penekanannya pada kemampuan meningkatkan manajemen sekolah yang semakin baik. Struktur organisasi sekolah menggambarkan pembagian tugas yang jelas beserta penanggung jawab yang terbentuk dalam organigram. Kedudukan tenaga kependidikan memegang peran utama dalam struktur organisasi sekolah. Beberapa unsur yang terkait dalam organisasi sekolah adalah kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, konselor dan tenaga ketatusahaan.
Disamping komponen di atas, terdapat juga komponen lain, yaitu lingkungan sekolah, hubungan manajemen sekolah dengan kualitas sekolah, hubungan integritas kepala sekolah dan kualitas sekolah, serta hubungan antara manajemen sekolah, integritas kepala sekolah dan lingkungan sekolah secara bersama-sama dengan kualitas sekolah.
lingkungan sekolah yang juga turut mempengaruhi manajemen sekolah. Lingkungan sekolah adalah penilaian tentang berbagai faktor atau aspek yang mempengaruhi pertumbuhan, kemajuan dan perkembangan sekolah, yang terlihat dari segi internal sekolah, seperti komunikasi interpersonal, budaya kerja dan sumber daya fungsional serta aspek eksternal sekolah, seperti kondisi sosial ekonomi, politik, hukum serta perkembangan teknologi. Oleh sebab itu, keberhasilan manajemen sekolah harus mengoptimalkan aspek lingkungan sekolah tersebut.
Hubungan positif antara manajemen sekolah dan kualitas sekolah dapat diduga bahwa semakin tinggi mutu manajemen sekolah, akan meningkatkan pula kualitas sekolah. Hubungan positif antara integritas kepala sekolah dan kualitas sekolah dapat diduga bahwa makin tinggi integritas kepala sekolah, akan makin tinggi pula kualitas sekolah. Hubungan positif antara lingkungan sekolah dan kualitas sekolah dapat diduga bahwa semakin baik lingkungan sekolah, internal maupun eksternal akan semakin baik pula kualitas sekolah. Selanjutnya, hubungan positif antara manajemen sekolah, integritas kepala sekolah dan lingkungan sekolah serca bersama-sama dengan kualitas sekolah diasumsikan bahwa makin bermutu manajemen sekolah, makin tinggi integritas kepala sekolah dan makin kondusif lingkungan sekolah, akan makin meningkatkan pula kualitas sekolah.



2.6 Upaya Peningkatan Kapasitas Manajemen Sekolah
Upaya peningkatan kapasitas manajemen sekolah dalam mencapai pendidikan yang bermutu pada tingkat SMA DKI Jakarta meliputi sebagai berikut:

2.6.1 Upaya Mengoptimalkan Peranan kepala Sekolah
Kepala sekolah orang yang diberi tugas dan tanggung jawab mengelola sekolah menghimpun, memanfaatkan dan menggerakkan seluruh potensi sekolah secara optimal untuk mencapai tujuan. Tugas utama yang diemban oleh kepala sekolah sebagai seorang pemimpin merumuskan berbagai bentuk kebijakan yang berhubungan dengan visi, orientasi dan strategi pelaksanaan pendidikan yang efektif dan efesien. Peranan kepala sekolah sangat penting dalam menentukan operasional kerja harian, mingguan, bulanan, semesteran dan tahunan yang dapat memecahkan berbagai persoalan pendidikan di sekolah.
Dalam prakteknya kepala sekolah harus memberikan pelayanan yang optimal mengenai kebutuhan tugas bagi guru dan pegawai lainnya. Hal ini terlihat dari kehadirannya lebih awal untuk mengecek segala kebutuhan proses belajar mengajar harian betul-betul siap digunakan. Keefektifan manajerial kepala sekolah merupakan bagian yang terintegrasi dari keefektifan organisasi sekolah itu sendiri.
Kekuatan kepemimpinan (strong leadership) kepala sekolah adalah dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen sekolah yaitu perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengkoordinasioan, pengawasan dan pengendalian. Oleh sebab itu, latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, wawasan dan kemampuan memimpin merupakan faktor dominan dan penting dalam mengefektifkan manajemen sekolah. Kinerja kepala sekolah sangat berpengaruh kepada disiplin sekolah, kinerja guru, sarana dan prasarana yang ada, keadaan peserta didik dan partisipasi orang tua serta masyarakat.
Kepala sekolah harus memiliki integritas tinggi sehingga kekuatan kepemimpinannya membawa pengaruh ke arah positif bagi pertumbuhan dan pengajaran di sekolah. Integritas kepada sekolah terwujud dalam tiga tindakan (Hareva: 147), yaitu; (1) menunjukan kejujuran (demonstrate honesty), yaitu bekerja dengan orang lain secara jujur dan benar, menyajikan data dan informasi secara lengkap dan akurat, (2) memenuhi komitmen (keeping commitment), yaitu melakukan apa yang telah dijanjikan dan tidak membocorkan rahasia, (3), berperilaku secara konsisten (behave consistently), yaitu menunjukkan tidak adanya kesenjangan antara kata dan perbuatan.
Kepala sekolah adalah pemimpin akademik dan memiliki jiwa entrepreneurship. Sebagai pemimpin akademik kepala sekolah harus mencintai ilmu pengetahuan yang dapat tercerm,in dari penguasaannya terhadap satu disiplin ilmu tertentu, memiliki budaya menbaca, memberi dorongan dan motivasi berpikir secara ilmiah dalam aktifitas proses pendidikan di sekolah. Sebagai entrepreneurship, kepala sekolah harus dapat tercermin dalam kemampuannya mengorganisasikan sumber-sumber sekolah, personal sekolah, materi dan aset lainnya serta mengintroduksi perubahan, inovasi dan tatanan baru dengan tujuan mendapatkan nilai tambah meningkatkan mutu pendidikan. Jiwa entrepreneurship memberikan kekuatan kepada sekolah untuk memiliki budaya berprestasi secara berkelanjutan dan menghasilkan karya nyata yang mampu meningkatkan daya saing sekolah.
Kepala sekolah menyenangi dan mencintai pekerjaan dan tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya., menyusun program yang keterkaitan dengan mutu sekolah, menjalin hubungan baik dengan stakeholder, berani mengambil keputusan dengan gaya kepemimpinan partisipatif serta perhitungan yang cermat.
Dalam peningkatan kualitas pendidikan, kepala sekolah harus menempatkan guru pada jabatan profesional dengan membenahi pendidikan dan wawasannya, mengembangkan kurikulum sebagai prioritas program sekolah, membuat pengukuran kinerja guru, perbaikan sistem dan sebagainya. Kepala sekolah sebagai pemimpin yang berhasil harus memiliki 10 watak positif (Sagala. 2007: 94) yaitu (1) jujur (honest), (2) kompeten (competence), (3) melihat ke depan (forward looking), (4) selalu memicu inspirasi (inspiring), (5) pandai dan cerdas (intelligent), (6) objektif dan berlaku adil (fair minded), (7) berwawasan luas (broad minded), (8) berani mengambil resiko (courages), (9) tidak berbasa basi, langsung pada persoalan (straight foward), dan (10) penuh imajinasi (immaginative). Implikasi dari watak pisitif ini dapat menggambarkan integritas kepala sekolah menjadi sangat teruji sehingga menjadi visioner, berjiwa entrepreneur, akomodatif dan komunikatif.

2.6.2 Upaya Meningkatkan Peranan Wakil-Wakil Kepala Sekolah
Wakil kepal sekolah sebagai bagian dari struktur organisasi sekolah yang sehat dan efisien terdiri dari urusan kurikulum, kesiswaan, sarana dan prasarana, hubungan masyarakat dan administrasi serta keuangan sesuai dengan kebutuhan. Tugas tersebut menjadi tanggung jawab kepala sekolah, namun sesuai dengan prinsip efektifitas dan efesiensi tugas dan tanggung jawab tersebut didelegasikan kepada wakil kepala sekolah.

2.6.2.1 Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum
Kurikulum sebagai inti kegiatan sekolah dalam melaksanakan layanan belajar, diperlukan satu unit kerja yang menanganinya dalam kapasitas wakil kepala sekolah, bertugas dan bertanggung jawab mengelola kurikulum dengan menempatkan guru sesuai dengan bidang keahliannya. Kejelian dan kecermatan wakil kepala sekolah yang membidangi kurikulum akan memberi gambaran sekolah itu bermutu, dia harus memahami dengan baik pendekatan dan pengembangkan kurikulum, menyusunnya dalam bentuk silabus dan perencanaan pembelajaran.
Wakil kepala sekolah kurikulum mempunyai wawasan yang baik mengenai kurikulum dan mampu mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Para guru dan tenaga kependidikan berkonsultasi kepadanya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan dunia usaha atau industri dan kebutuhan pembangunan nasional di segala bidang yang dapat dikembangkan dalam kurikulum. Hasil konsultasi ini dapat diakomodasikan kepada pokok bahasan dan sub-pokoh bahasan.
Pesan pengembangan kurikulum akan memberikan sinyal dalam kegiatan belajar yang dapat dihayati oleh peserta didik dalam penguasaan ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan kompetensi yang terukur. Melalui wakil kepala sekolah bidang kurikulum diharapkan guru memiliki kemampuan mengungkapan gagasan kunci batang tubuh mata pelajarannya. Wakil kepala sekolah bidang kurikulum mampu memberikan pilihan akan metode yang menarik bagi peserta didik dan strategi pembelajaran yang efektif, sehingga pembelajaran menarik dan menyenangkan bagi perserta didik.
Berdasarkan tugas dan tanggung jawab wakil kepala sekolah bidang kurikulum tidak terbatas dengan hanya petunjukan teknis (Juknis) dan petunjukan pelaksanaan (juklak) yang diberikankan oleh instansi terkait, melainkan beberapa kompentensi yang harus dimiliki oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum, antara lain: (1) memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas tentang perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, (2) memiliki pengetahuan dan wawasan perkembangan dunia usaha dan prospek pekerjaan masa depan, (3) memiliki wawasan dan pengetahuan pengembangan kurikulum yang meliputi teori – teori tentang belajar / pendidikan, didaktik metodik dan teknologi belajar.
Sebagai pembantu kepala sekolah usaha-usaha wakil kepala sekolah urusan kurikulum yang dapat meningkatkan manajemen sekolah antara lain:
· Berusama guru menumbuhkan minat baca terhadap siswa dengan melakukan berbagai cara dan motivasi.
· Berusaha mengetahui persoalan belajar siswa dan mengambil langkah-langkah sebagai solusinya.
· Melakukan motivasi dan ajakan kepada guru-guru untuk memahami perkembangan siswa dan melakukan pembinaan untuk mencapai tujuan sekolah.
· Bersama kepala sekolah untuk mengembangkan sistem pendidikan di sekolah yang lebih feksibel.
· Mendoromng kepada sekolah untuk terus menerus mengembangkan profesionalisme guru dan melakukan studi banding bagi para guru dan siswa serta osis.
· Menyarankan kepada kepala sekolah untuk membudayakan guru untuk melihat kegiatan belajar mengajar di sekolah lain serta membudayakan guru untuk mengevaluasi diri (guru).
· Memberikan saran kepada kepala sekolah untuk mengembangkan sistem penghargaan bagi guru.
· Memberikan dorongan kepada kepala sekolah untuk mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada, khususnya yang terkait dengan proses belajar mengejar.

2.6.2.2 Wakil Kepala Sekolah Urusan Sarana, Administrasi dan Keuangan
Wakil kepala sekolah urusan sarana, administrasi dan keuangan tugas dan tanggung jawab mengusahakan, mengembangkan, memelihara dan mengidentifikasi prasarana dan sarana sekolah agar layak digunakan sesuai standar yang dipersyaratkan. Dia memgambil peran memberikan layanan kepada seluruh personal sekolah dan peserta didik bahwa semua sarana dan prasarana sekolah layak dan siap untuk dipakai dan digunakan untuk kegiatan belajar.
Pengadaan perlengkapan sekolah biasanya menurut Bafadal (2003:26) dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan perkembangan pendidikan di sekolah, mengganti barang-barang yang rusak atau tidak dapat dipakai lagi, hilang, dihapuskan dan menjaga tingkat persediaan barang setiap tahun anggaran mendatang. Prinsip yang digunakan dalam perencanaan adalah kehati-hatian semua pengadaan perlengkapan sekolah untuk memenuhi kebtuhan yang diperlukan sekolah. Semua kegiatan sarana dan prasarana untuk mendukung tujuan sekolah.
Semua kelengkapan kelas yang bersih dan nyaman, perpustakaan yang rapi dan menarik dengan koleksi buku sesuai kebutuhan, laboratorium dengan bahan yang cukup sesuai fungsinya, sarana dan perlengkapan olah raga, kesenian dan tempat ibadah yang cukup, nyaman dan bersih, WC dalam keadaan bersih dan cukup air, lapangan parkir yang cukup rapi dan teratur dan lain-lain kelengkapan yang diperlukan oleh sekolah. Penataan keuangan yang rapi sesuai dengan prinsip akuntasi, sistem akuntabilitas publik bidang administrasi umum dan keuangan sekolah ditunjukan dengan menciptakan sistem laporan yang jelas dapat diterima oleh internal dan eksternal sekolah.
Sebagai pembantu kepala sekolah usaha-usaha wakil kepala sekolah urusan sarana prasarana, administrasi dan keuangan yang dapat meningkatkan manajemen sekolah antara lain:
· Melakukan penghematan anggaran pengeluaran sekolah, seperti mengajak siswa-siswa mengelola program kebersihan sekolah, dengan penghematan memungkinkan sekolah menyelenggarakan program yang berguna atau menyediakan prasarana belajar yang lebih baik.
· Usahakanlah agar susunan bangku di kelas lebih demokratis, sehingga memungkinkan siswa berinteraksi dan bekerja sama dalam kelompok lebih efektif dan efesien.
· Bersama dengan pimpinan sekolah lain untuk mengajak kepala sekolah merumuskan dan menentukan tujuan sekolah dalam pertemuan yang terbuka bersama-sama guru.
· Mintalah kepala sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah yang dirumuskan bersama dengan pihak-pihak terkait.

2.6.2.3 Wakil Kepala Sekolah Urusan Kesiswaan dan Humas
Bagi sekolah dan orang tua perserta didik serta masyarakat, faktor mutu layanan belajar merupakan faktor utama dalam menentukan perbedaan antara masyarakat terkebelakang dan masyarakat maju, investasi pendidikan dan sekolah sangat diperlukan sebagai perioritas (Sagala. 2007: 97-98). Peserta didik sebagai salah satu input sekolah sangat mempengaruhi pembentukan karakter sekolah yang berkualitas. Sistem nilai dan budaya sekolah sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut peserta didik dan keluarganya, mental, latar belakang keluarga, cita-cita, prinsip hidup, kemandirian dan daya saing akan menjadi penentu apakah sekolah itu berkualitasatau tidak. Kepala sekolah melimpahkan sebagian kewenangannya dalam bidang tersebut kepada wakil kepala sekolah yang membidangi urusan kesiswaan dan kehumasan.
Wakil kepala sekolah yang membidang urusan kesiswaan mempunyai tanggung jawab mengelola peserta didik dilihat dari aspek bakat, minat, kemampuan dan kecerdasan. Potensi siswa yang beraneka ragam itu harus dapat penyeluran yang memadai. Wakil bidang kesiswaan ini harus mempunyai dokumen dan catatan lengkap mengenai kebijaksanaan umum penerimaan peserta didik, peraturan mengenai peserta didik termasuk beban biaya, latar belakang setiap peserta didik, prestasi, perilaku dan lain-lain sebagai bahan pertimbangan untuk pembinaan peserta didik. Program yang dapat dilakukan oleh wakil kesiswaaan antara penulisaan karya ilmiah, kesenian, olah raga, lomba bidang studi dan kegiatan lainnya yang dapat membangun intelektual dan kreativitas.
Sebagai pembantu kepala sekolah usaha-usaha wakil kepala sekolah urusan kesiswaan yang dapat meningkatkan manajemen sekolah antara lain:
· Libatkanlah siswa dalam program pengabdian masyarakat, jika dirasakan dapat menumbuhkan semangat.
· Rangsanglah siswa agar berinisiatif menerbitkan "koran satu lembar", seminggu sekali yang didistribusikan kepada seluruh warga sekolah. Isinya dalam aspirasi dan opini tentang sekolah yang memungkinkan terbukanya komunikasi sehingga diharapan perubahan wawasan yang lebih baik.
· Doronglah Osis agar menjalin kerja sama dengan sekolah lain dengan menyelenggarakan diskusi secara rutin tentang berbagai macam topik, mulai politik sampai kepada pendidikan.
· Doronglah para siswa untuk melibatkan diri dalam kegiatan kemasyarakatan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah atau lembaga swasdaya masyarakat, jika perlu susunlah proposal kegiatan untuk mengubah suatu permasalahan yang dirasa sangat memprihatikan yang timbul dalam berbagai kehidupan.
· Dukunglah para siswa untuk menyelenggarakan sendiri kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri, seperti kegiatan ekstrakurikuler pengayaan materi pelajaran, pelatihan berorganisasi dan sebagainya.
Wakil kepala sekolah yang mengurus urusaan hubungan masyarakat bertugas memberikan informasi yang memadai tentang apa saja kegiatan dan program sekolah yang harus diketahui masyarakat dan apa saja yang dibutuhkan sekolah. Caranya dapat dilakukan melalui brosur, famflet, pertemuan silaturrahmi, hari besar keagamaan, hari besar nasional, seminar, lokakarya da sebagainya. Wakil kepala sekolah yang mengurus humas merupakan jembatan penting hubungan sekolah dengan komite sehingga ada sinergi antara program sekolah dengan komite dan mendapat dukungan dengan masyarakat. Dalam kagitannya dengan sekolah menjalin komunikasi dengan semua instansi, badan atau organisasi di mana sekolah itu berada, sekolah mampu mengkomunikasikan tujuan, rencana dan berbagai kebijakan sekolah.
Falsafat yang harus dibangun oleh sekolah adalah kejujuran dan integritas dalam segala hal, seperti kemimpinan yang didasarkan pada kontribusi mutu yang bersaing, kepuasan bagi peserta didik dan orang tua siswa memproleh mutu pendidikan, membangun budaya dan iklim organisasi yang saling percaya, penekanan pada kerja sama (team working) yang solid dan suasana kerja yang menyenangkan (Sagala. 2007:99). Masyarakat harus dikondisikan bahwa mereka merupakan bagian penting dari sekolah. Karena itu masyarakat ikut merasa memiliki dengan ikut memajukannya.
Upaya yang harus ditingkatkan oleh warga sekolah, khususnya personal yang diberi tugas dan tanggung jawab dalam manajemen sekolah terkait dengan kehumasaan antaralain:
· Bentuklah pertemuan rutin untuk mengadakan temu bicara secara representatif antara orang tua, guru dan juga dapat melibatkan siswa dalam wadah komite sekolah, serta buatlah acara bersama guru, siswa dan orang tua siswa agar terjalinnya komunikasi antara warga sekolah.
· Doronglah kepala sekolah agar menyediakan ruang khusus untuk menerima orang tua siswa dan doronglah kepala sekolah untuk mengundang tokoh masyarakat agar terlibat dalam program sekolah.
· Mengajak masyarakat untuk menjadikan sekolah sebagai bagian dari hidup mereka.
· Menjalin kerja sama dengan pihak keamanan pemerintah untuk menjaga lingkungan sekolah.
· Mendorong pimpinan sekolah untuk mengunjungi siswa, khususnya yang bermasalah ke rumahnya.
· Mendorong pimpinan sekolah untuk menjalin kerja sama dengan dunia usaha atau lembaga pengembangan sumber daya manusia.
· Mendorong pimpinan sekolah untuk menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian.

2.6.3 Upaya Mengoptimalkan Peranan Guru dalam Proses pendidikan
Dalam proses pendidikan guru memiliki peranan sangat penting dan strategis dalam membimbing perserta didik ke arah kedewasaan, kematangan dan kemandirian. Guru sebagai pendidik melakukan rekayasa pembelajaran berdasarkan kurikulum yang berlaku. Oleh sebab itu, guru harus menggunakan asas dan teori pendidikan, membuat program dan desain intruksional.
Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang akademisnya dan sebagainya. Kesiapan guru untuk mengenal karakteristik peserta didik dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan ajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran. Pembelajaran adalah proses belajar yang dibangun guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran.
Iklim kelas diyakini berkorelasi positif dengan perubahan tingkah laku dan prestasi pembelajaran siswa(Hadiyanto.2003: 16-17)). Iklim kelas merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efektifitas dan kualitas pembelajaran di kelas, serta dapat dikembangkan aspek-aspek demokrasi dalam pendidikan. Hal ini tercermin dalam kegiatan seperti pemberian nilai awal, perlakuan umpan balik, pelaksanaan refleksi dan diskusi, perlakukan perbaikan dan pemberian penilaian ulang.
Peserta didik berkewajiban melaksanakan proses kegiatan pembelajaran, untuk mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Pengetahuan tidak diperoleh dengan cara diberikan atau ditransper dari orang lain, tetapi "dibentuk dan dikonstruksi" oleh individu itu sendiri, sehingga peserta didik itu mampu mengembangkan intelektualnya. Karakteristik proses pembelajaran yang harus diperhatikan adalah proses melibatkan mental dan membangun suasana dialogis serta proses tanya jawab terus menerus untuk meningkatkan kemapuan berpikir. Sebaliknya proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik jika pendidik mempunyai kompetensi, yaitu kompetensi substansi materi pelajaran dan kompetensi metodologi pembelajaran. Implementasi kompetensi tersebut tergambar mulai pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran. Dalam hal ini guru harus selalu mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi agar fungsi dan tugasnya lebih berhasil mencapai tujuan sekolah.
Guru harus berinisiatif dan inovatif untukmengintensifkan sistem pembelaharan aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM) untuk mempermudah bagi para guru memberikan pelayanan belajar dan mempermudah bagi peserta didik untuk memahami materi ajar yang disampaikan guru. Layanan instruksional merupakan tugas utama guru menurut Soetjipto dan Kosasi (2004:3) meliputi: (1) penguasaan isi dan materi bidang studi yang diajarkan, wawasan yang berhubungan dengan materi itu dan mampu merangsang siswa mengembangkan kreativitasnya, (2) kemampuan dalam memecahakan persoalan yang dihadapi siswa yang mempengaruhi keberhasilan belajarnya, (3) pemahaman terhadap pengelolaan sekolah dan bagaimana peranan yang dapat dimainkan oleh guru dalam melaksanakan tugasnya. Oleh sebab itu, guru dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan bidang studinya, perkembangan psikologi belajar dan mekanisme kebijakan pendidikan pada tingkat mikro (sekolah) dan makro (instansi terkait).
Sebagai pendidik guru-guru berusaha yang dapat meningkatkan manajemen sekolah antara lain:
· Memberikan dorongan dan semangat kepada siswa untuk memberi tugas belajar mandiri secara teratur.
· Melakukan proses pendidikan kepada siswa agar dia memandang dirinya sebagai manusia yang utuh dan tidak memutlakkan nilai dalam kehidupan siswa.
· Berusaha dengan baik untuk menjalin dan menjaga komunikasi dengan orang tua siswa demi tercapainya tujuan sekolah.

2.6.4 Upaya Peningkatkan Peranan Orang Tua Siswa dan Tokoh Masyarakat
Keterlibatan orang tua siswa dan masyarakat dalam dunia pendidikan sangat penting sebagai upaya perwujudan rasa tanggungjawabnya dalam mencapai tujuan pendidikan. Pemerintah telah membentuk wadah partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan yang disebut Dewan Pendidikan pada tingkat wilayah kabupaten/kota dan Komite dalam unit pendidikan sekolah. Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah (DPKS), berdasarkan keputusan Mendiknas No. 044/U/2002. DP-KS merupakan badan yang bersifat mandiri, dengan tujuan untuk: (a) mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan di kota/kabupaten (DP) dan satuan pendidikan/sekolah (KS), (b) meningkatkan tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, (c) menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di daerah dan satuan pendidikan/sekolah.
Khususnya Komite Sekolah mempunyai peran sebagai pemberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan berupa dukungan finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan satuan pendidikan. Oleh sebab itu, fungsi komite adalah mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Malalui komite sekolah dapat terlaksana kerja sama dengan masyarakat, baik perorangan maupun organisasi, dunia usaha dan dunia industri, pemerintah dan DPRD berkenan mendukung penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
Berdasarkan pengamatan dari tokoh-tokoh pendidikan (Balitbang-Dinas. 2004: 93-98) menyatakan bahwa peran komite sekolah sebagai lembaga pertimbangan pada umumnya pada tahap awal konsolidasi, peran sebagai lembaga pendukung pada umumnya pada tahap awal konsolidasi, peran sebagai lembaga penghubungan pada umumnya hampir semua aspek dari peran dan fungsi sebagai penghubung dalam perencanaan pendidikan masih ada pada tahap awal konsolidasi, bahkan peran sebagai lembaga penghubung dalam pengelolaan sumber daya masih belum berfungsi sama sekali dan peran sebagai lembaga kontrol pada umumnya kontrol terhadap perencanaan pendidikan di sekolah belum berfungsi akan tetapi kontrol terhadap pelaksanaan program pendidikan di sekolah sudah berjalan dengan baik.
Keterlibatan masyarakat dan orang tua siswa sangat ditentukan oleh kebijakan kepada sekolah beserta dewan guru. Kepala sekolah mendorong tumbuhnya konsolidasi kepengurusan dalam Komite Sekolah melalui berbagai acara, pengurus komite harus dapat membuat agenda pertemuan bulanan, triwulan, semester dan tahunan untuk ikutp berpartisipasi dalam memecahkan persoalan sekolah. Pengurus komite dapat mengajak tokoh-tokoh masyarakat dan pendidikan, terutama yang berada dalam lingkungan sekitar sekolah untuk mengikuti perkembangan sekolah yang pada akhirnya tumbuh rasa meiliki sekolah sehingga dapat membantuk sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan di sekolah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian dalam tulisan ini yang berjudul ”Upaya peningkatan kapasitas manajemen sekolah: Suatu tinjauan peningkatan manajemen berbasiskan sekolah (MBS) SMA di DKI Jakarta”, maka dapat ditarik kesimpulan dan saran-saran.

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari tulisan ini adalah sebagai berikut:
3.1.1 Upaya peningkatan secara optimal peranan kepala sekolah sebagai top manejer di sekolah dapat dilakukan dalam bentuk memberikan pelayanan secara optimal mengenai kebutuhan tugas bagi guru dan pegawai lainnya, menerapkan fungsi-fungsi manajemen dengan efektif, memiliki integritas yang tinggi secara positif mempengaruhi mutu proses pengajaran, mencerminkan pimpinan akademik dan jiwa entrepreneurship, mencintai tugas dan tanggung jawabnya dengan menjaga hubungan baik semua pihak serta berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan yang tercermin dalam tindakan / watak positif.
3.1.2 Upaya peningkatan peran wakil-wakil kepala sekolah dan stafnya meliputi: Wakil kepala sekolah urusan kurikulum harus memiliki wawasan yang luas dalam pengembangan kurikulum, berbagai strategi dan model pembelajaran serta memiliki wawasan ilmu pengetahuan yang cukup, perkembangan dunia usaha serta mampu mengimplementasikan dalam kehidupan mikro di sekolah. Wakil kepala sekolah urusan sarana, administrasi dan keuangan harus mampu melakukan penghematan anggaran sekolah, semua kelengkapan bersih, nyaman dan tertata secara demokratis sehingga menciptakan iklim siap dalam proses kegiatan belajar mengajar serta transparan dalam masalah keuangan. Wakil kepala sekolah urusan kesiswaaan harus mampu melakukan analisa potensi aneka ragam bakat dan kemampuan siswa sebagai bahan pertimbangan dalam membina potensi akademik dan non-akademik siswa, memiliki program pengabdian masyarakat yang baik, wawasan pengembangan intelektual, membangun komunikasi siswa secara secara otonomi dan demokratis. Wakil kepala sekolah urusan hubungan masyarakat dapat melakukan komunikasi yang intensif dengan mitra sekolah, baik dalam mitra hubungan vertikal maupun mitra hubungan horizontal, melakukan program pertemuan, meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap program sekolah, termasuk dengan perguruan tinggi dan dunia usaha serta tokoh / masyarakat sekitar.
3.1.3 Upaya meningkatkan peran guru dalam proses pendidikan melalui penguasaan dan peningkatan bidang studi, peningkatan asas-asas, teori belajar dan pendidikan yang dapat dituangkan dalam program pembelajaran, guru mampu melakukan analisis yang tepat tentang karakter belajar siswa dan menciptakan iklim yang positif, sehingga tercipta proses belajar yang demokratis, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
3.1.4 Upaya peningkatan peranan komite sekolah sebagai representasi orang tua, tokoh masyarakat dan tokoh pendidikan dalam partisipasinya mendukung kemajuan pendidian di sekolah dengan memiliki program untuk menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel dan demokratis dalam pelayanan pendidikan yang bermutu di sekolah.
3.2 Saran-saran
Saran-saran berdasarkan tulisan ini adalahsebagai berikut:
3.2.1 Demi pelayanan pendidikan pengajaran yang bermutu kepala sekolah harus mampu melakukan evaluasi diri terhadap kepemimpinannya, baik masa waktu semester maupun tahunan dengan cara menyebarkan kuisioner kepada semua unsur di sekolah, hasilnya dapat memperbaiki perubahan dan peningkatan kepemimpinan. Selanjutnya kepala sekolah juga harus membuat kuisioner kepada siswa-siswa tentang kinerja guru, baik sebagai guru mata pelajaran maupun sebagai pembantu kepala sekolah (wakil dan staf). Kegiatan penyebaran kuisioner ini sebagai alat evaluasi diri yang lebih objektif dan terukur.
3.2.2 Sebagaimana kepala sekolah dan guru wakil kepala sekolah juga memiliki wadah musyawarah wakil-wakil kepala sekolah sesuai urusannya pada tingkat kota dan provinsi, kegiatan yang dapat dilakukan saling tukar informasi, pengalaman dan strategi dalam meningkatkan peranan masing-masing di sekolahnya.
3.2.3 Guru harus dapat mengimplementasikan program pengajaran sesuai dengan rencana yang telah disusun. Oleh sebab itu, setiap guru mata pelajaran tidak hanya membuat program pembelajaran sekedar memenuhi syarat administratif, tetapi program itu dapat memandu, mengiringi segala aktifitas pembelajaran secara riil. Secara sportif dan objektif guru juga mampu melakukan evaluasi diri melalui penyebaran kuisioner kepada siswa tentang kinerjanya.
3.2.4 Komite sekolah sebagai badan yang mandiri haus memiliki kegiatan konsolidasi kepengurusan secara jelas, pertemuan pengurus secara berkala, memahami kondisi dan prospek sekolah dengan jelas, menjalin komunikasi dengan baik kepada semua anggota dan memperluas keanggotaan serta komunikasi dengan tokoh-tokoh masyarakat, politik, industri dan lainnya, sehingga mampu memberi pertimbangan-pertimbangan yang bermanfaat terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.


DAFTAR PUSTAKA

Bafadal, I. 2003. Manajemen Perlengkapan Sekolah: Teori dan Aplikasinya. Jakarta. Bumu Aksara.
Balitbang, Depdiknas. 2004. Informasi Awal pelaksanaan Dewan pendidikan dan Komite Sekolah: Kasus di beberapa Propinsi pada tahun 2003.
David, Jane L. Synthesis of Research on School-based Management. . Educational Leadership. Volume 46. Number 8. May 1989.
Endri. 2007. Konsep ”Corporate Social Responsibility dan Prakteknya di Indonesia. (dlm) Jurnal Ilmu dan Budaya. Vol. 28 No. 8. Oktober. Jakarta. Unas.
Ghazali, Abbas. Dr. 2000. Sistem pendidikan di Jepang. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 027, th-6-Nov.
Hadiyanto dan Subijanto. 2003. Pengembalian kebebasan Guru untuk Mengkreasi Kelas dalam Manajemen berbasis Sekolah (MBS). (dlm) Jurnal pendidikan dan Kebudayaan. No. 40. th. 9. Januari.
Http://www.ed.gov/databases/Eric Digestes/ed336845.html
Handoko, Hani. 2000. Manajemen. Jokyakarta. BP-FE.
Husin, Zulkifli dan Rahmat Nur Sasongko. 2003. Manata Manajemen Pendidikan, antara Perbaikan Kualitas dan Gaji Guru di Era Otonomi Daerah. (dlm) Jurnal pendidikan dan Kebudayaan. No. 43. th. 9 . Juli.
Jones, Jeff. 2005. Management Skills in Schools. London. A SAGA Publications Company.
Kurhami, S. Karim A. 2002. Mengubah Wawasan dan Peran Guru Dalam Era Kesejagatan. (dlm) Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 035. Th. 8. Maret.
Mariati. 2007. MenyoalProfil sekolah Bertaraf Internasional. (dlm) Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 67 – 13. Juli
Miller, Mary Susan, Ph.D. 2006. Save Our School: 57 langkah menyelamatkan sekolah. Jokyakarta. Kanisius.
Mulyasa, E. Dr., M.Ed. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung. Rosda.
Sagala, Syaiful, Dr. M.Pd. 2007. Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung. Penerbit Alfabeta.
Schwarz, S. Marc & Carroll Archiv B. 2003. Corporate Social Responsibility : A three domain approach (in) Business Ethics Quarterly. Vo. 13. Issu 4. pp : 503-530
SMK Kian Manarik Perhatian. 2008. Jakarta. Republika. 4 Juni.
Slamet PH. 2000. Manajemen Berbasis sekolah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 027, tahun ke-6. November 2000.
Soetjipto dan Kosasi, R. 2004. Profesi Keguruan. Jakarta. Renika Cipta.
Suyatno, Thomas. 2004 Beberapa Faktor yang Menentukan Kualitas SMA. (dlm) Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 46. Th. 10. Januari.
Takakura, Sho and Murata, Yokuo. 1997. Education in Jepan: Present System and Tasks/Curriculum and Instruction. Tokyo: Institute of Education, University of Tsukuba.
Tilaar, HAR. 2006. Standar Pendidikan Nasional. Jakarta. Renika Cipta.
Yazid, Abdullah. 2007. Halusinasi Mutu Pendidikan. Suara Karya. Jakarta. 18 May.
Yuniarsih, Tjutju. 2004. Reformasi kepemimpinan Pendidikan. (dlm) Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 47 . th. 10. Maret.

Biodata Penulisan

Nama : Syahrial Syarbaini.
Alamat : Jl. Mandala Utara, Tomang, Grogol. Jakarta Barat. Telp. 5672730
Alamat Rumah: Jl. Kenanga, B5/1, PKP, Pd. Aren, Tangerang. Telp. 73447929.
HP. 081310837090. E-mail: syahrialsyarbaini @ Yahoo.com
Pendidikan:
SD dan SLTP di Kamang – Bukitinggi, SLTA di Payakumbuh (1976). Sarjana Muda Pendidikan (BA), Civics Hukum, IKIP Padang (1979), Sarjana Pendidikan, Civics/ hukum (S1) IKIP Bandung (1982). Program Non-Gelar di Perpustakaan FS-UI (1986), Master of Arts / MA (S2) Universiti Malaya (1997), Ph.D. (DR./ S3) Universiti Kebangsaan Malaysia (2005)
Dosen Tidak Tetap (pangkat Lektor Kepala) di Univ. Indonusa Esa Unggul, Mercu Buana dan FISIP Univ. Budi Luhur.
Karya Tulis Umum (Mahasiswa), antara lain:
Pendidikan Pancasila (Penerbit Ghalia Indonesia. 2001), Sosiologi dan Politik (Ghalia Indonesia. 2002), Pendidikan Kewarganegaraan (Graha Ilmu. Jokyakarta. 2005) dan beberapa artikel di Jurnal Kampus dan media massa.

Minggu, 26 April 2009

Demokrasi: Dilema PIlpres Indonesia

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang sudah lama dikenal semenjak zaman Yunani dalam bentuk langsung. Namun demokrasi baru muncul dalam bentuk modern setelah jatuhnya raja-raja absolut yang diiringi dengan revolusi Perancis abad ke 17. Demokrasi setelah revolusi Perancis berlandaskan hak asasi manusia, khususnya kebebasan menyatakan pendapat, berserikat, berkumpul dan hak yang sama memilih dan dipilih dalam proses politik. Demokrasi modern memerlukan sarana yaitu partai politik, pemilihan dan parlemen, sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Persoalan dalam demokrasi modern adalah bagaimana wakil-wakil rakyat yang telah dipilih mewujudkan keinginan, kehendak serta membawa aspirasi rakyat. Dalam masyarakat modern dengan tipologi pluralis, jumlah penduduk cukup banyak, tingkat perkebangan sosial ekonomi yang berbeda menyebabkan kualitas demokrasi kurang memadai. Pemahaman demokrasi belum sepenuhnya apabila dihadapkan kepada kesempatan mendapatkan informasi seluas-luasnya bagi rakyat untuk menilai, menimbang dan menetapkan calon yang dinginkan. Pemilu memerlukan kecerdasan dengan mengedepankan rasio dalam bersikap untuk menyerahkan kedaulatan kepada penguasa. Pengalaman berdemokrasi meruipakan guru terbaik dalam pencerdasan berdemokrasi, rakyat harus mampu menatap masa depan yang lebih dengan menyerahkan kekuasaan kepada wakil-wakil yang berkualitas dan mampu menterjemahkan aspirasi rakt.
Pengalaman dalam kenegaraan di Indonesia sudah cukup untuk melakukan perubahan mental berdemokrasi. Orde Baru telah mengalami beberapa kali pesta demokrasi, banyak memberikan sikap negatif terhadap demokrasi, khususnya dalam pemilihan Presiden sehingga lupa sisi - sisi positif dalam pemilihan Presiden tidak langsung yaitu oleh MPR. Masifnya penilai terhadap demokrasi Pilpres Orde Baru melupakan betapa hemat, efesian dan efekif sebagai sisi positif. Reformasi 1998 merubah seluruh sistem pemilihan yang berbau Orde Baru, seperti Presiden dipilih langsung oleh rakyat, masa jabatan dua periode saja tanpa berpikir terhadap hasil. Kita dapat mempertanyakan berapa banyak kelebihan pemilihan presiden langsung dibanding dengan pemilihan perwakilan, kenyataannya tidak terlalu perbedaanya apabila dibanding dengan dana, waktu serta tenaga yang harus ditanggung oleh negara?
Barangkali kita harus mempertimbangankan kembabali sistem pemilihan presiden secara langsung. Perlu meninjau kembali perundang-undangan yang terkait. Untuk jangka pendek perlu merubah undang-undang Pilpres dan jangka panjang dilakukan amandemen kembali pasal-pasal yang terkait dengan demokrasi langsung (khusus pilpres).
Dalam jangka pendek dengan hanya melakukan perubahan terhadap peraturan organiknya. Calon presiden cukup dipilih hanya satu tahap, apabila calon lebih dari dua pasangan maka pemilihan presiden cukup dilakukan di tingkat legilatif (anggota DPRD I, II, DPR-RI dan DPD), dua pasangan tertinggi dipilih oleh rakyat secara langsung. Dalam jangka panjang dikembalikan kepada pemiliha perwakilan. Substansi pemilihan Presiden setelah ditetapkan caleg terpilih dari semua tingkatan parlemen (DPRDII, I, DPR-RI dan DPD). Pengajuan calon presiden oleh partai atau gabungan partai dengan suara minimal 20% hasil pemilu. Presiden cukup dipilih oleh seluruh anggota parlemen (angota DPRD II. II, DPR-RI dan DPD). Sistem pemilihan Presiden secara legislatif ini sudah banyak mengurangi resiko negatif dari pemilihan presiden langsung. Pelantikan presiden terpilih oleh MPR.Pemilihan Presiden hanya anggota legislatif saja telah banyak mengurangi berbagai resiko negatif dari pemilihan presiden langsung dimana hasiln ya tidak akan berbeda jauh. Kuantitas pemilihan langsung oleh rakyat, khusus dalam pilkada telah menjadi pelajaran berdemokrasi bahwa rakyat pemilihan sudah hampir mendekati kejenuhan, minimal kurangnya tingkat kepedulian, dapat dilihat banyak warga yang tidak ikut dalam pemilu legislatif 2009 tetapi tidak melakukan protes. Demokrasi modern sadah menuju kearah meritokrasi oleh sebab itu hanya rakyat yang menggunakan rasio dan kecerdasan yang mempengaruhi proses demokrasi.

Rabu, 22 April 2009

Pendidikan Kewarganegaraan suatu Paradigma Baru















Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
(Suatu Paradigma Baru)



Pendidikan kewarganegaraan adalah suatu materi yang harus ajarkan mulai dari pendidikan dasar sampai kepada perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini sesuai dengan amanat UU No. 20 / 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. PKn sebagai suatu materi pengajaran banyak mengalami perubahan seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan Negara. Materi pengajaran ini lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan politik kenegaraan. Pada awalnya di tingkat persekolahan bernama Civics, kemudian berubah menjadi Kewarganegaraan, selanjutnya berubah menjadi Tata Negara, kemudian Pendidikan Moral Pancasila, kemudian berobah lagi dengan nama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Berdasarkan kurikulum 2004 bernama Kewarganegaraan, kemudian revisi kurikulum 2004 menjadi kurikulum KBK 2006 menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Perkembangan tersebut mulai era Orde Baru ke Era Reformasi pada tingkat persekolahan.
Pada Tingkat universitas mata kuliah Pendidikan kewarganegaraan mengalami perubahan yang cukup berarti, yaitu berawal dari dua mata kuliah yang digabungkan, Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Pancasila adalah perubahan dari Filsafat Pancasila, sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan perubahan dari mata kuliah Kewiraan. Mata kuliah Kewiraan merupakan mata kuliah yang dibina oleh Departemen Pertahanan Nasional dengan secara disiplin dosennya di latih dalam latihan Suscados Dephankam yang menjadi prasyarat untuk mengajar perkuliahan tersebut.
Setelah keluarnya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional, maka hanya ada satu mata kuliah sebagai pemgabungan dari Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Silabusnya telah disusun oleh Dikti tahun 2006 dengan jumlah SKS 3.
Sesuai dengan perkembangan dalam dunia pendidikan yang berlaku dalam masyarakat dan negara maka Pendidikan Kewarganegaraan harus memiliki kompetensi sebagai berikut:
Dimensi pengetahuan kewarganegaraan (civics knowledge) yang mencakup bidang politik, hukum dan moral. Secara lebih terperinci, materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, sejarah nasional, hak dan kewajiban warga negara, hak asasi manusia, hak sipil, dan hak politik.
Dimensi keterampilan kewarganegaraan (civics skills) meliputi keterampilan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya: berperan serta aktif mewujudkan masyarakat madani (civil society), keterampilan mempengaruhi dan monitoring jalannya pemerintahan, dan proses pengambilan keputusan politik, keterampilan memecahkan masalah-masalah sosial, keterampilan mengadakan koalisi, kerja sama, dan mengelola konflik.
Dimensi nilai-nilai kewarganegaraan (civics values) mencakup antara lain percaya diri, komitmen, penguasaan atas nilai religius, norma dan moral luhur, nilai keadilan, demokratis, toleransi, kebebasan individual, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan perlindungan terhadap minoritas.
Pendidikan Kewarganegaraan memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Oleh karenanya ruang lingkup mata pelajaran PKn meliputi aspek-aspek sebagai berikut ;
Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan
Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional
Hak asasi manusia, meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM
Kebutuhan warga negara, meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri , Persamaan kedudukan warga negara
Konstitusi Negara, meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi
Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi
Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka
Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.


Selasa, 21 April 2009

Regulerisasi Pemilu Indonesia

Evaluasi Pemilu 2009
Permasalahan:
Jumlah partai yang terlalu banyak dengan Caleg yang terlalu banyak menyebabkan rakyat pemilih kurang mendapat kesempatan untuk mengkritisi para caleg dan partai yang mengusungnya. Demokrasi kurang berkualitas karena rakyat kurang menggunakan rasionalisasi dalam memilih, tentu akan membawa dampak kepada wakil rakyat di parlemen kurang berkualitas dalam melaksanakan tugasnya.
Solusinya adalah:
1. Perubahan undang-undang pemilu yang menetapkan bahwa pada pemilihan umum 2014, peserta pemilu adalah partai yang telah memiliki jumlah pemilih dalam pemilu 2009 minimal 2,5% (15 kursi DPR-RI) atau partai-partai peserta pemilu 2009 (Yang kurang 2,5%) harus berkoalisi sehingga suaranya mencapai 2,5% minimal. Akan diperkirakan peserta pemilu 2014 antara 10-15 partai.
2. Daerah pemilihan adalah kabupaten/kota, yang mana kursi yang diperebutkan hanya 1 (satu) dari setiap daerah pemilihan. Akan diperkirakan setiap partai akan mengajukan hanya 1 calegnya, dan kemungkinan peserta pemilu (Partai) mungkin akan lebih sedikit karena partai sudah dapat memperkirakan bahwa mereka tidak bersaing dengan suatu partai yang dominan di daerah pemilihan tersebut. Wacana ini akan memberi peluang kepada partai untuk berkoalisi, sehingga yang tampil di suatu daerah pemilihan boleh jadi beberapa partai saja dan juga beberapa calon saja. Apabila seorang caleg terpilih di dapil yang bersangkutan maka rakyat lebih mengenal wakilnya dan wakil rakyat tersebut dapat mendirikan Sekretariat yang berfungsi sebagai komunikasi politik dengan konstituennya.
3. Pemerintah harus mengatur pelaksanaan demokrasi sebagai suatu fungsi menjalan peran negara. Kebebasan yang dimiliki rakyat harus diatur oleh negara, kalau negara kurang menjalan fungsi pengaturannya pertanda negara ikut menumbulkan instabilitas.
Demikian Kritik sementara terhadap sistem pemilu, yang mana saya lebih cenderung untuk melaksanakan sistem pemilu dengan sistem distrik yang sekaligus akan memperkuat otonomi daerah yang terpusat pada daerah tingkat II.